Sabtu, Januari 02, 2010

Efek Terhadap Neraca Perdagangan

Neraca Perdagangan (Trade Balance) adalah sebuah ukuran selisih antara nilai impor dan ekspor atas barang nyata dan jasa. Tingkat neraca perdagangan dan perubahan ekspor dan impor diikuti secara luas dalam pasar valuta asing. Efek terhadap neraca perdagangan cenderung menaikkan barang-barang impor. Sebaliknya, apabila suatu negara tidak mampu bersaing, maka ekspor tidak berkembang. Keadaan ini dapat memperburuk kondisi neraca pembayaran. Efek buruk lain dari globaliassi terhadap neraca pembayaran adalah pembayaran neto pendapatan faktor produksi dari luar negeri cenderung mengalami defisit. Investasi asing yang bertambah banyak menyebabkan aliran pembayaran keuntungan (pendapatan) investasi ke luar negeri semakin meningkat. Tidak berkembangnya ekspor dapat berakibat buruk terhadap neraca pembayaran.

Tantangan Terhadap Tata Internasional yang ada khususnya menyakut pengkotan-pengkotan negara berdasar geoekonomi dan geopolitik masyarakat dunia. Persekutuan Negara-negara “non blok” yang berharap untuk menantang hubungan neo-kolonialis sesudah perang secaara berangsur-angsur diperluas dan diperkuat anatara konprensi Bandung pada tahun 1955 dan konprensi Aljazair pada tahun 1973. Konperensi-konperensi dan pertemuan-pertemuan yang banyak diadakan itu hanya memberikan hasil langsung yang kecil, sedang blok sosialis tak pernah mampu untuk membantu dunia ketiga dalam memperoleh suatu kekuatan berunding kolektif yang efektif. Namun suatu forum untuk perundingan diadakan dengan teerciptanya konprensi PBB untuk perdagangan dan pembangunan (UNCTAD) pada tahun 1964 sebagai suatu “serikat buruh” untuk Negara-negara dunia ketiga.

Hutang resmi pada luar negeri ditentukan sedemikian rupa sehingga mencakup hutang-hutang yang diadakan oleh sector pemerintah, maupun hutang-hutang yang diadakan oleh sector swasta, yang dijamin oleh badan pemerintah.

Pertemuan UNCTAD yang pertama sudah meliputi sebagian besar dari masalah-masalah yang ingin dirundingkan dan didasarkan atas asas-asas umum yang termuat dalam piagam UNCTAD yang mewajibkan setiap Negara untuk memberikan sumbangan-sumbangan kepada suatu tata ekonomi internasional yang diperbaiki yang mencakup “kemajuan ekonomi dan sosial di seluruh dunia” dan “perbaikan dalam kesejaahteraan dan tingkat hidup semua orang.

Tindakan kelompok organisasi Negara-negara pengekspor minyak bumi (OPEC), yang meningkatkan harga minyak dunia dengan empat kali lipat, terjadi dengan latar belakang erosi perlahan-lahan dalam hegemoni politik dan militer Amerika Serikat di Seluruh dunia. ruh dunia, seperti misalnya kekalahannya yang bergema di Asia Tenggara.

Tindakan OPEC tersebut di atas mencapai suatu perge­seran yang nyata dalam perimbangan kekuasaan dengan tiga konse­kuensi penting:

a. Tindakan tersebut memperlihatkan keuntungan-keuntung­an yang potensial bagi ketiga kelompok negara-negara pengekspor komoditi primer yang dapat menguasai pasaran dunia untuk suatu komoditi yang penting, di mana negara-negara Barat tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri.

b, Tindakan OPEC memperlemah negara-negara Barat dengan amat mengacaukan neraca pembayaran mereka serta mematahkan monopoli mereka dalam cadangan internasional.

c. Karena OPEC bersedia untuk menggunakan kekuatan be­rundingnya untuk menunjang tuntutan-tuntutan lain dari dunia ketiga, maka OPEC pun secara substansial memperkuat posisi berunding dunia ketiga secara keseluruhan.

Tantangan itu, setidak-tidaknya untuk, waktu ini, adalah suatu tantangan yang nyata, dan perundingan-perundingan antara nega­ra-negara kaya dan miskin menjadi lebih terarah. Pada Sidang UNCTAD IV tercapai persetujuan mengenai dua hal-pembentuk­an suatu dana stabilisasi multi-komoditi dan suatu kode untuk pe­ngalihan teknologi. Bidang perundingan lain yang penting ialah Konperensi PBB untuk Hukum Laut, di mana negara-negara dunia ketiga sedang mendesakkan pengaturan internasional baru untuk memastikan hak atas sumber daya; sumber daya laut dan dasar laut.

Tetapi kekuatan berunding dunia ketiga masih belum kokoh. Masih harus dilihat apakah produsen-produsen komoditi primer lain, yang diilhami oleh keberhasilan OPEC, dapat merigorganisir kartel-kartel yang efektif. Juga masih harus dilihat apakah Negara-­negara Barat dapat memperbaiki kerusakan perekonomian mereka sendiri, dan apakah anggota-anggota OPEC yang lebih kaya akan terus berpihak pada dunia ketiga atau, sebaliknya, lambat laun akan ditarik ke dalam "klub orang-orang, kaya" Sistem harga "dua-tingkat" dari OPEC sudah menunjukkan adanya suatu perpe­cahan.

Adalah penting untuk dicatat bahwa sistem sesudah perang, yang mendorong pertumbuhan yang pesat di Eropa dan Jepang selama lebih dari dua dasawarsa, sudah memperlihatkan gejala-geja1a ketidak-stabilan yang gawat sebelum terjadinya krisis minyak. Dalam hal ini perlu disebut tiga kelemahan pokok, yaitu laju infla­si yang makin pesat; tidak stabilnya kurs mata uang dan lalu lintas mata uang, dan perkembangan industri yang berbeda-beda dari berbagai negara yang bersaingan satu sama lain. Kelemahan-kele­mahan ini pada akhirnya dapat merenggangkan persekutuan nega­ra-negara Barat dan melemahkan keterikatan dari sedikit-dikitnya beberapa negara terhadap pengaturan ekonomi dunia yang ber­laku.

Bidang-bidang Perundingan Utama sangat ditentukan oleh Topik-topik diskusi yang pada waktu ini dibahas secara aktif dapat dikelompokkan dalam tiga kategori: komoditi-komoditi primer, perkembangan industri dan sumber pembiayaan luar nege­ri. Hingga kini yang terutama ditekankan adalah topik pertama yaitu komoditi primer.

Usul-usul khusus yang diajukan mencakup suatu "rencana ko­moditi terpadu" untuk komoditi-komoditi yang merupakan 80 persen dari seluruh perdagangan komoditi, tidak termasuk minyak bumi, indeksasi harga komoditi2 dan pembentukan asosiasi-asosia­si produsen.

Rencana komoditi terpadu mencakup persediaan golongan pe­nyangga internasional yang dibiayai dengan suatu dana umum yang berjumlah beberapa milyar dollar Amerika Serikat, tekanan pada kontrak-kontrak persediaan besar yang berjangka panjang, pembiayaan kompensasi untuk kehilangan penghasilan yang dise­babkan oleh jatuhnya harga, dan peningkatan pengolahan dan distribusi bahan-bahan mentah oleh negara-negara penghasil ko­moditi.

Usul-usul yang lebih kontroversial adalah indeksasi (kaitan) harga-harga komoditi yang diekspor oleh negara-negara dunia keti­ga dengan harga-harga yang mereka bayar untuk impor dan pem­bentukan asosiasi-asosiasi produsen. Usul-usul ini dapat mengun­tungkan baik produsen maupun konsumen dengan menyediakan pasaran yang stabil, dan memungkinkan pertumbuhan yang lebih pesat. " Tetapi mereka menghadapi perlawanan dari banyak negara Barat, yang menganggap usul terakhir ini sebagai suatu keinginan untuk meniru OPEC dengan menetapkan harga-harga yang tinggi dan membatasi persediaan. Bahkan usul pertama dianggap sebagai saran yang lebih buruk bahwa kelebihan persediaan harus disubsidi atas beban mereka. Usul indeksasi akan meliputi suatu perluasan kebijaksanaan dukungan harga yang dijalankan di negara-negara Barat.

Usul balasan, yang terutama diajukan oleh Amerika Serikat, adalah pengembangan komoditi-komoditi primer melalui pena­naman modal swasta dalam produksi terpadu, pengolahan dan ja­ringan distribusi. Hal ini tidak dapat diterima oleh banyak negara dimia ketiga, karena akan berarti perluasan penguasaan atas sum­ber daya-sumber daya alam mereka oleh perusahaan-perusahaan multinasional, yang sudah terjadi dalam bahan-bahan mineral, dan yang mereka sudah sejak lama menganggap sebagai contoh utama dari eksploitasi neo-kolonialis.

Tujuan-tujuan dunia yang ketiga dalam hal pembangunan industri adalah persyaratan yang lebih baik untuk memperoleh teknologi, peluang yang lebih baik untuk menjual barang-barang jadi di pa­saran negara-negara Barat dan pengawasan yang lebih besar terha­dap kegiatan-kegiatan perusahaan-perusahaan multinasional. Mes­kipun terdapat kode tentang pengalihan teknologi, namun ke­mungkinan terjadinya perubahan yang berarti hanya kecil sekali. Negara-negara Barat yang sudah terlibat dalam saling persaingan yang hebat, tidak berhasrat untuk membantu negara-negara dunia ketiga dalam merebut pasaran dari tangan mereka. Selama tahun-­tahun terakhir ini wahana utama bagi pengembangan ekspor ba­rang-barang jadi dari dunia ketiga adalah perusahaan-perusahaan multinasional, yang tertarik oleh tenaga kerja yang murah di negara-negara dunia ketiga. Dalam bidang barang-barang padat­ karya perusahaan-perusahaan ini mendatangkan perdagangan ke dunia ketiga yang merugikan para pekerja di industri-industri yang sama di Barat.

Pemerintah-pemerintah Barat tidak menentang proses ini, meskipun hal ini mempemgaruhi kesempatan kerja di negara-negara mereka sendiri, dan pemerintah-pemerintah dunia ketiga sering menyambut balk penghasilan devisa yang diperoleh dari ekspor barang-barang jadi. Kekuatan komersial dari perusaha­an-perusahaan multi-nasional merupakan sebab mengapa perun­dingan-perundingan yang serius mengenai pembangunan industri sangat tidak mungkin, karena pemerintah di banyak negara kaya dan miskin terlampau tergantung pada mereka untuk bersedia melakukan banyak campur tangan dalam kegiatan-kegiatan mere­ka. Tetapi bahkan jika suatu kelompok negara-negara dunia ketiga yang lebih besar dapat kesempatan yang lebih baik unluk mema­suki pasaran industri dunia, maka hal ini hanya akan mengakibat­kan persaingan yang lebih hebat antara mereka tanpa membawa pertambahan netto yang berarti negara Barat berarti bahwa sistem keuangan internasional dalam bentuknya yang sekarang banyak keku-rangannya menurut pandangan kebanyakan negara yang ikut serta dalam sistem ini.

Tujuan dari setiap kelompok terutama tergantung pada hal apakah mereka adalah negara debitor atau kreditor. Dunia ketiga menghendaki kredit murah tanpa ikatan; negara-negara dan lem­baga-lembaga kreditor OPEC dan Barat menghendaki keuntungan dan keamanan. Pemerintah kreditor juga menghargai pengaruh politis yang mereka peroleh, yaitu "ikatan-ikatan" yang ditentang oleh negara-negara debitor dari dunia ketiga dalam pendapatan bagi dunia ketiga sebagai keseluruhan.

Keterbatasan anggaran dalam membangun dan menumbuh kembangakan iklim industrialisasi di negara dunia ketiga, memancing mereka untuk mendapat pembiayaan dari luar negeri, khususnya negara maju. Dan, akhirnya banyak menjadi masalah hutang yang gawat dari banyak negara dunia ketiga itu sendiri, dan itu juga kesulitan bagi negara-negara OPEC untuk menemukan suatu ben­tuk investasi yang aman bagi penghasilan surplus dari penjualan minyak bumi, dan ketidak-stabilan mata-uang yang diderita ba­nyak.

Tetapi jika negara-ne­gara Barat dapat menetapkan untuk mereka sendiri peraturan-­peraturan yang dapat dikerjakan dengan baik mengenai penyesuai­an neraca pembayaran, maka mereka akan mampu menyelesaikan masalah-masalah spekulatif tanpa perlu memberikan konsesi-kon­sesi besar kepada negara-negara dunia ketiga.

Pada waktu ini me­mang dunia ketiga mempunyai hutang besar, terutama sesudah terjadi pertumbuhan yang pesat dalam pinjaman dari pasar modal swasta internasional. Negara-negara kaya akan terpaksa untuk menunda masa pembayaran kembali hutang-hutang ini untuk menghindari hantu kebangkrutan massal dari dunia ketiga, tetapi hal ini tidak mungkin akan menghasilkan persyaratan yang diper­lunak. Bahkan harapan bahwa OPEC akan merupakan suatu sum­ber kredit baru mungkin akan ternyata suatu ilusi belaka; negara­-negara OPEC nampaknya mempunyai pandangan yang sama se­perti negara-negara Barat mengenai keamanan dan keuntungan dari dana-dana yang mereka tanamkan, dan nampaknya mereka juga akan berusaha untuk menggunakan setiap kredit yang mereka berikan sebagai suatu cara untuk memperoleh pengaruh politik.




efek terhadap produksi

Pedagangan luar negeri mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap sector produksi di dalam negeri. Secara umum kita bisa menyebutkan empat macam pengaruh yang bekerja melalui adanya:

1. Spesialisasi produksi.

2. Kenaikan “investasi surplus”

3. “Vent for Surplus”.

4. Kenaikan produktivitas.

Spesialisasi

Perdagagangan internasional mendorong masing-masing Negara kea rah spesialisasi dalam produksi barang di mana Negara tersebut memiliki keunggulan komperatifnya. Dalam kasus constant-cost, akan terjadi spesialisasi produksi yang penuh, sedangkan dalam kasus increasing-cost terjadi spesialisasi yang tidak penuh. Yang perlu diingat disini adalah spesialisasi itu sendiri tidak membawa manfaat kepada masyarakat kecuali apabila disertai kemungkinan menukarkan hasil produksinya dengan barang-barang lain yang dibutuhkan. Spesialisasi plus perdagangan bisa meningkatkan pendapatan riil masyarakat, tetapi spesialisasi tanpa perdagangan mungkin justru menurunkan kesejahteraan masyarakat.

Tetapi apakah spesialisasi plus perdagangan selalu menguntungkan suatu negara ? Dalam uraian diatas dapat menyimpulakan, bahwa CPF sesudah perdagangan selalu lebih tinggi atau setidak-tidaknya sama dengan CPF sebelum perdangangan. Ini berarti bahwa perdagangan tidak akan membuat pendapatan riil masyarakat lebih rendah, dan sangat mungkin membuatnya lebih tinggi. Tetapi perhatikan bahwa analisa semacam ini bersifat “statik”, yaitu tidak memperhitungkan pengaruh-pengaruh yang timbul apabila situasi berubah atau berkembang, seperti yang kita jumpai dalam kenyataan.

Ada tiga keadaan yang membuat spesialisasi dan perdagangan tidak selalu bermanfaat bagi suatu negara. Ketiga keaadan ini berkaitan dengan kemungkinan spesialisasi produksi yang terlalu jauh, artinya adanya sektor produksi yang terlalu terpusatkan pada satu atau dua barang saja. Keadaan ini adalah:

a. Ketidakstabilan pasar luar negeri

Bayangkan suatu negara yang karena dorongan spesialisasi dari perdagangan, hanya memproduksi karet dan kayu. Apabila harga karet dan kayu dunia jatuh, maka perekonomian dalam negeri otomatis akan jatuh. Lain halnya apabila negara tersebut tidak hanya berspesialsasi pada kedua barang tesebut, tetapi juga memproduksi barang-barang lain baik untuk ekspor maupun untuk kebutuhan dalam negeri sendiri. Turunnya harga dari satu atau dua barang mungkin bisa diimbangi oleh naiknnya haga barang-barang lain. Inilah pertentangan atau konfik antara spesialisasi dengan diversifikasi. Spesialisasi biasa meningkatkan pendapatan riil masyarakat secara maksimal, tetapi dengan resiko ketidakstabilan pendapatan tetapi dengan konsekuensi harus mengorbankan sebagian dari kenaikan pendapatan dari spesialisasi. Sekarang hampir semua negara di dunia menyadari bahwa spesialisasi yang terlalu jauh (meskipun didasarkan atas prinsip keunggulan komperatif, seperti yang ditunjukan oleh teori ekonomi) bukanlah keadaan yang baik. Manfaat dari diversifikasi harus pula diperhitungkan.

b. Keamanan nasional

Bayangkan suatu negara hanya memproduksi satu barang, misalnya karet, dan harus mengimpor seluruh kebutuhan bahan makanannya. Meskipun karet adalah cabang produksi dimana negara tersebut memiliki keunggulan komperatif yang paling tinggi, sehingga bisa meningkatkan CPFnya semakin mungkin, tentunya keadaan seperti ini tidak sehat. Seandainya terjadi perang atau apapun yang menghambat perdagangan luar negeri, dari manakah diperoleh bahan makanan bagi penduduk negara tersebut? Jelas bahwa pola produksi seperti yang didiktekan oleh keunggulan komperatif tidak harus selalu diikuti apabila ternyata kelangsungan hidup negara itu sendiri sama sekali tidak terjamin.

c. Dualisme

Sejarah perdagangan internasional negara-negara sedang berkembang, terutama semasa mereka masih menjadi koloni negara-negara Eropa, ditandai oleh timbulnya sektor ekspor yang berorientasi ke pasar dunia dan yang sedikit sekali berhubungan dengan sektor tradisional dalam negeri. Sektor ekspor seakan-akan bukan merupakan bagian dari negeri itu, tetapi bagian dari pasar dunia. Dalam keadaan seperti ini spesialisasi dan perdagangan internasional tidak memberi manfaat kepada perekonomian dalam negeri. Keadaan ini di negara-negara sedang berkembang setelah mereka merdeka, memang sudah menunjukan perubahan. Tetapi sering belum merupakan perubahan yang fundamental. Sektor ekspor yang “modern” masih nampak belum bisa menunjang sektor dalam negeri yang “tradisional”.

Ketiga keadaan tersebut di atas adalah peringatan bagi kita untuk tidak begitu saja dan tanpa reserve menerima dalil perdagangan Neoklasik bahwa spesialisasi dan perdagangan selalu menguntungkan dalam keaadaan apapun. Tetapi di lain pihak, uraian diatas tidak merupkan bukti bahwa manfaat dari perdagangan tidaklah bisa dipetik dalam kenyataan. Teori keunggulan komperatif masih memiliki kebenaran dasarnya, yaitu bahwa suatu negara seyogyanya memanfaatkan keunggulan komperatifnya dan kesempatan”transformasi lewat perdagangan”. Hanya saja perlu diperhatikan bahwa dalam hal-hal tertentu pertimbangan-pertimbangan lain jangan dilupakan.

Investible Surplus Meningkat

Perdagangan meningkat pendapatan riil masyarakat. Dengan pendapatan riil yang lebih tinggi berarti negara tersebut mampu untuk menyisihkan dana sumber-sumber ekonomi yang lebih besar bagi investasi (inilah yang disebut “investible surplus”). Investasi yang lebih tinggi berarti laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Jadi perdagangan bisa memdorong laju pertumbuhan ekonomi.

Inilah inti dari pengaruh perdagangan internasional terhadap produksi lewat investible surplus. Ada tiga hal mengenai pengaruh ini perlu dicatat:

a. Kita harus menanyakan berapa dari manfaat perdagangan (kenaikan pendapatan riil) yang diterima oleh warga negara tersebut, dan berapa yang diterima oleh warga negara asing yang memiliki faktor produksi, misalnya modal, tenaga kerja, yang diperkejakan di negara tersebut. Dengan lain perkataan, yang lebih penting adalah berapa kenaikan GNP, bukan kenaikan GDP, yang ditimbulkan oleh adanya perdagangan.

b. Kita harus menanyakan pula berapa dari kenaikan pendapatan riil karena perdagangan tersebut akan diterjemahkan menjadi kenaikan investasi dalam negeri, dan berapa ternyata dibelanjakan untuk konsumsi yang lebih tinggi atau ditransfer ke luar negeri oleh perusahaan-perusahaan asing sebagai imbalan bagi modal yang ditanamkannya? Dari segi pertumbuhan ekonomi yang paling penting adalah kenaikan investasi dalam negeri dan bukan hanya “investible surplus”-nya.

c. Kita harus pula membedakaan antara “ pertumbuhan ekonomi” dan “pertumbuhan ekonomi”. Disebutkan di atas bagaimana dualisme dalam struktur perekonomian bisa timbul dari adanya perdagangan internasional. Di masa lampau, dan gejala-gejalanya masih tersisa sampai sekarang, kenaikan ivestible surplus tersebut cenderung untuk diinvestasikan di sektor “modern” dan hanya sedikit yang mengalir ke sektor “tradisional”. Pertumbuhan semacam ini justru semakin mempertajam dualisme dan perbedaan antara kedua sektor tersebut. Dalam hal ini kita harus berhati-hati untuk tidak mempersamakan pertumbuhan ekonomi dengan pembagunan ekonomi dalam arti sesungguhnya.

Inti dari uraian diatas adalah bahwa kenaikan investible surplus karena perdagangan adalah sesuatu yang nyata. Tetapi kita harus mmpertanyakan lebih lanjut siapa yang memperoleh manfaat, berapa besar manfaat tersebut yang di realisir sebagai investasi dalam negeri, dan adakah pengaruh dari manfaat tersebut terhadap pembangunan ekonomi dalam arti yang sesungguhnya.

Vent For Surplus

Konsep ini aslinya berasal dari Adam Smith. Menurut Adam Smith, perdagangan luar negeri membuka daerah pasar baru yang lebih luas bagi hasil-hasil didalam negeri. Produksi dalam negeri yang semula terbatas karena terbatasnya pasar di dalam negeri, sekarang bisa diperbesar lagi. Sumber-sumber ekonomi yang semula menggangur (surplus) sekarang memperoleh saluran (vent) untuk bisa dimanfaatkan, karena adanya daerah pasar yang baru. Inti dari konsep “vent for surplus” adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terangsang oleh terbukanya daerah pasar baru. Sebagai contoh, suatu negara yang kaya akan tanah pertanian tetapi penduduk relatif sedikit. Sebelum kemungkinan perdagangan dengan luar negeri terbuka, negara tersebut hanya mnghasilkan bahan makanan yang cukup untuk menghidupi penduduknya dan tidak lebih dari itu. Banyak tanah yang sebenarnya subur dan cocok bagi pertanian dibiarkan tak terpakai. Dengan adanya kontak dengan pasar dunia, negara tersebut mulai menamam barang-barang perdagangan dunia seperti lada, kopi, teh, karet, gula, dan sebagainya dengan memanfaatkan tanah pertanian yang menganggur tersebut. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi meningkat.

Yang perlu dicatat disini adalah bahwa pemanfaatan tanah-tanah pertanian baru tersebut memerluakan modal dan investasi yang sangat besar, jauh melebihi kemampuan negara itu sendiri untuk membiayainya. Oleh sebab itu sejarah mencatat bahwa pembukaan perkebunan-perkebunan hampir selalu berasal dari modal asing. Ini jelas dari sejarah negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, India, Sri Langka, dan banyak lagi lainnya. Di masa sekarang sumber-sumber ekonomi yang belum dimanfaatkan kebanyakan tidak lagi berupa tanah-tanah pertanian (meskipun kadang-kadang masih demikian), tetapi berupa sumber-sumber alam (khususnya energi) dan kadang-kadang juga tenaga kerja yang murah dan berlimpah dan murah. Modal yang besar dan teknologi tinggi diperlukan bagi pemanfaatan sumber-sumber alam ini, dan semuanya itu seringkali di luar kemampuan negara pemilik sumber-sumber tersebut untuk membiayai dan melaksanakannya. Jadi tetap memerlukan modal dan teknologi asing. Perhatikan bahwa inti dari proses “vent for surplus” ini tetap sama, baik dulu maupun sekarang, yaitu: sumber-sumber ekonomi yang tidak bisa dimanfaatkan kecuali apabila ada saluran ke pasar dunia dan apabila modal asing diperkenankan masuk. Perbedaan pokoknya adalah bahwa di masa lampau negara-negara pemilik sumber-sumber alam tersebut adalah negara jajahan, sedangkan sekarang adalah negara merdeka dengan pemerintah nasionalnya. Kunci daripada apakah proses “vent for surplus” ini akan menghasikan pembangunan ekonomi dalam arti sesungguhnya dalam arti sesungguhnya ataukah hanya “pertumbuhan ekonomi” seperti yang telah terjadi di zaman lampau, terletak di tangan pemerintah nasional. Mereka harus bisa meraih sebagian besar dari “manfaat perdagangan” yang dihasilkan dan menggunakannya bagi kepentingan pembangunan nasionalnya dalam arti yang sebenarnya.

Produktivitas memiliki pengaruh yang sangat penting dari perdagangan luar negeri terhadap sektor produksi berupa peningkatan produktivitas dan efisiensi pada umumnya. Kita bisa membedakan tiga sumber utama dari peningkatan produktivitas dan efisiensi yang ditimbulkan oleh adanya perdagangan luar negeri.

a. Economies of scale berarti makin luasnya pemasaran produksi bisa diperbesar dan dilakukan dengan cara yang lebih murah dan efisien (Economies of scale menurunkan Long Run Average Cost dari suatu sector industri).

b. Teknologi baru berarti perdagangan internasional dan hubungan luar negeri pada umumnya dikatakan sebagai media yang penting bagi penyebaran teknologi dari negara – negara maju ke negara yang belum berkembang. Bentuk yang langsung dari penyebaran teknologi ini adalah apabila dengan dibukanya hubungan dengan luar negeri suatu negara bisa mengimpor barang misalnya mesin yang bisa meningkatkan produktivitas didalam negeri. Sebagai contoh, suatu negara sedang berkembang mengimpor komputer untuk memperbaiki produktivitas aparat pemerintannya. Sebetulnya disini yang dimpor adalah “teknologi baru” yang terkandung dalam computer tersebut. Bentuk penyebaran teknologi yang bersifat tidak langsung tetapi kadang sangat penting. Apabila para produsen dalam negeri memperoleh pengetahuan mengenai produk baru. Cara – cara yang dilakukan akan lebih efisien dalam produksi, pemasaran dan manajemen perusahaan pada umumnya, semangat dan motivasi baru untuk melakukan inovasi. Misalnya dimasa lalu petani Indonesia memperoleh manfaat dari perkebunan Belanda berupa pengetahuan mengenai produk baru seperti kopi, teh, tembakau, karet dan gula yang laku dipasaran dunia dan cara penanamannya yang baik. “belajar” teknologi baru seperti ini lebih memiliki manfaat yang besar dan berdifat lebih lestari daripada hanya “membeli” teknologi seperti dalam contoh di atas.

c. Rangsangan persaingan berarti peningkatan efisiensi tidak hanya terjadi lewat teknologi baru melainkan juga “lewat pasar”. Dikatakan bahwa dibukanya perdagangan internasional tidak jarang membuat sektor – sector tertentu didalam perekonomian yang semula “tertidur” dan tidak efisien menjadi sector yang lebih dinamis berkat adanya pengaruh persaingan dari luar. Sebagai contoh, jika suatu pasar domestic yang dikuasai oleh sebuah perusahaan monopoli yang tidak efisien. Kerugian yang ditanggung masyarakat dengan adanya sector ini akan lebih tinggi. Namun, karena berbagai hal tidak ada perusahaan dalam negeri yang bisa masuk ksektor ini dan menggeser posisi perusahaan monopoli tersebut. Apabila kemudian hubungan kluar negeri dibuka, bisa diharapkan bahwa barang – barang yang sama atau serupa dengan hasil produksi sector tersebut tetapi dijual dengan harga yang lebih murah dan kualitas yang lebih baik akan mengalir masuk kedalam negeri. Dalam hal ini dibukanya perdagangan mempunyai pengaruh yang serupa dengan masuknya perusahaan – perusahaan baru yang lebih efisien ke sektor tersebut. Jadi perdagangan luar negeri bisa meningkatkan efisiensi suatu sektor melalui peningkatan persaingan. Dalam prakteknya, Apabila keadaan seperti ini terjadi maka bisa diharapkan bahwa perusahaan monopoli yang merasa kelangsungan hidupnya dibahayakan akan berusaha untuk menghalang – halangi mengalirnya barang – barang ke luar negeri. Misalnya dengan menuntut pengenaan bea masuk yang tinggi. Dalam hal ini pemerintah harus mempertimbangkan berbagai kepentingan termasuk kepentingan konsumen, produsen, buruh dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Seringkali masalahnya menjadi sulit dan rumit karena argumentasi ekonomi sering dikacaukan dengan argumentasi politis dan kepentingan golongan atau sektoral.

Ada beberapa hal penting untuk dicatat mengenai kemungkinan peningkatan produktivitas melalui hubungan internasional ini. Diantara ketiga sumber peningkatan produktivitas yaitu Economies of scale, teknologi baru dan rangsangan persaingan. Salah satu mendapatkan penekanan dan perhatian khusus dari Negara sedang berkembang yaitu teknologi baru. Masalah pemindahan teknologi atau transfer of technologi dari Negara maju ke negar sedang berkembang merupakan topik yang paling banyak diperbincangkan baik dikalangan keilmuan maupun perundingan internasional antara kelompok Negara sedang berkembang dengan kelompok Negara maju. Pemindahan teknologi dilihat sebagai salah satu kunci dari keberhasilan pembangunan di negara yang sedang berkembang. Sampai berapa jauhkan Negara sedang berkembang dapat memperoleh manfaat teknologi baru melalui perdagangan internasional, modal asing dan bantuan luar negari? Jawaban untuk

a. Seberapa jauhkah produsen dan pelaku – pleku ekonomi di dalam negeri siap untuk menerima teknologi baru tersebut ? Hal ini menyangkut bukan hanya keterampilan dan pengetahuan minimal yang harus lebih dulu dimiliki oleh para produsen, buruh didalm negeri tetapi juga berkaitan dengan kesiapan mereka dan dengan ada – tidaknya lingkungan yang menunjang pengalihan teknologi tersebut. Ketidaksiapan dari pihak penerima merupakan faktor penghambat meskipun negaraterkadang Negara sedang berkembang tidak selalu mau mengakuinya dengan jujur.

b. Sampai berapa jauhkan Negara maju termasuk perusahaan asing yang beroperasi dinegara tersebut bersedia untuk memberikan dan mengajar teknologi mereka kepada Negara sedang berkembang? Kemauan dan kejujuran yang sungguh – sungguh dipihak Negara maju merupakan syarat utama dari berhasilnya program pengalihan teknologi ini. Itikad dari pihak Negara maju dan perusahaan – perusahaannya untuk menyebarkan dan mengajarkan teknologinya juga perlu dipertanyakan, kalau kita lihat betapa lambatnya proses “transfer of technologi ini berjalan dalam prakteknya.

Ada satu masalah lagi selain proses pengalihan teknologi itu sendiri yang perlu diperhatikan. Masalai ini adalah mengenai sesuai tidaknya teknologi yang dialihkan bagi kepentingan pembangunan Negara sedang berkembang. Teknologi yang dikembangkan dinegara maju bersumber pada desakan dan keadaan dinegara tersebut. Sedangkan kebutuhan dan keadaan dinegara sedang berkembang mungkin menuntut teknologi yang berbeda. Sekarang orang mulai mempertanyakan apakah computer, traktor – traktor besar, mesin serba otomatis memang teknologi yang diperlukan oleh Negara yang sedang berkembang pada saat ini. Apakah tidak lebih efektif apabila Negara maju membantu Negara sedang berkembang dalam pengembangan teknologi terbaru yang langsung merupakan jawaban bagi kebutuhan Negara sedang berkembang dan tidak hanya memberikan apa yang telah dikembangkan dinegara maju. Dari sini muncul ide – ide mengenai pentingnya mengembangkan teknologi madya dan sebagainya. Tetapi sampai saat ini belum ada jawaban yang tegas bagi pertanyaan seperti ini dan belum ada kesepakatan diantara para ekonom sendiri.

Bagaimana dengan sumber peningkatan yang lain? Saying bahwa kedua sumber ini tidak memperoleh perhatian yang sepadan disbanding dengan sumber teknologi baru tersebut. Kedua sumber ini pun tidak kalah pentingnya untuk peningkatan prodiktivitas.

Efek Perdagangan Internasional terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Dalam konteks perekonomian suatu negara, salah satu wacana yang menonjol adalah mengenai pertumbuhan ekonomi. Meskipun ada juga wacana lain mengenai pengangguran, inflasi atau kenaikan harga barang-barang secara bersamaan, kemiskinan, pemerataan pendapatan dan lain sebagainya. Pertumbuhan ekonomi menjadi penting dalam konteks perekonomian suatu negara karena dapat menjadi salah satu ukuran dari pertumbuhan atau pencapaian perekonomian bangsa tersebut, meskipun tidak bisa dinafikan ukuran-ukuran yang lain. Wijono (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan pembangunan.

Salah satu hal yang dapat dijadikan motor penggerak bagi pertumbuhan adalah perdagangan internasional. Salvatore menyatakan bahwa perdagangan dapat menjadi mesin bagi pertumbuhan ( trade as engine of growth, Salvatore, 2004). Jika aktifitas perdagangan internasional adalah ekspor dan impor, maka salah satu dari komponen tersebut atau kedua-duanya dapat menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan. Tambunan (2005) menyatakan pada awal tahun 1980-an Indonesia menetapkan kebijakan yang berupa export promotion. Dengan demikian, kebijakan tersebut menjadikan ekspor sebagai motor penggerak bagi pertumbuhan.

Ketika perdagangan internasional menjadi pokok bahasan, tentunya perpindahan modal antar negara menjadi bagian yang penting juga untuk dipelajari. Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Vernon, perpindahan modal khususnya untuk investasi langsung, diawali dengan adanya perdagangan internasional (Appleyard, 2004). Ketika terjadi perdagangan internasional yang berupa ekspor dan impor, akan memunculkan kemungkinan untuk memindahkan tempat produksi. Peningkatan ukuran pasar yang semakin besar yang ditandai dengan peningkatan impor suatu jenis barang pada suatu negara, akan memunculkan kemungkinan untuk memproduksi barang tersebut di negara importir. Kemungkinan itu didasarkan dengan melihat perbandingan antara biaya produksi di negara eksportir ditambah dengan biaya transportasi dengan biaya yang muncul jika barang tersebut diproduksi di negara importir. Jika biaya produksi di negara eksportir ditambah biaya transportasi lebih besar dari biaya produksi di negara importir, maka investor akan memindahkan lokasi produksinya di negara importir (Appleyard, 2004).