Sudah banyak studi yang mengungkapkan peranan perdagangan yang lebih bebas terhadap perekonomian, baik terhadap volume perdagangan, nilai perdagangan, maupun pendapatan nasional. Sekretariat GATT/WTO misalnya memperkirakan sukses Putaran Uruguay akan meningkatkan pendapatan dunia sebesar 230 miliar dolar AS per tahun.
Pelaksanaan liberalisasi perdagangan merupakan usul Eminent Persons Group (EPG) dan Pasific Business Forum (PBF). EPG mengusulkan agar perdagangan bebas di kawasan Asia Pasifik dilaksanakan sepenuhnya tahun 2020 melalui beberapa tahap. Tahun 2010 pelaksanaan bagi negara maju, tahun 2015 untuk negara industri baru, dan tahun 2020 untuk negara berkembang. Sedang PBF mengusulkan dimulainya tahun 2002 dan diharapkan sepenuhnya tahun 2010.
Akibat Putaran Uruguay, perdagangan dunia tahun 2005 diperkirakan akan meningkat 12 % lebih tinggi atau 745 miliar dolar AS di atas nilai perdagangan jika tidak ada Putaran Uruguay. Kenaikan terbesar ini konon akan terjadi pada garmen (60%), disusul tekstil (34 %), hasil pertanian, perikanan, dan perhutanan (20 %), serta makanan dan minuman (19 %).
Khusus terhadap Asia, Bank Dunia memproyeksikan kawasan yang menguasai 25 % GNP dunia ini akan menikmati separuh dari peningkatan perdagangan dunia antara sekarang hingga tahun 2000 atau lebih besar ketimbang yang dinikmati AS maupun Uni Eropa. Prof. Garnaut dari Australian National University (ANU) memperkirakan Cina, AS, Jepang, Korsel, dan Indonesia akan melampui negara-negara Uni eropa, termasuk Jerman, pada abad 21 dalam rangking skala perekonomian global.
Untuk Indonesia, menurut proyeksi sekretariat GATT, Putaran Uruguay akan menyebabkan ekspor negara ini meningkat 10,94 % dan GDP naik 0,8 % atau 856 juta dolar AS. Peluang peningkatan meliputi produk manufaktur ke Eropa barat dengan peluang peningkatan sebesar 68,67 % dan ke Amerika utara sebesar 64, 65 %.
Tidak semua pihak sependapat dengan perundang-undangan optimis itu, terutama dalam hal dampak GATT/WTO dan APEC terhadap ekonomi Indonesia, sebab meski bentuknya belum jelas, APEC tampaknya pada akhirnya akan mengarah ke semacam kawasan perdagangan bebas.
Pendapat agak pesimis antara lain melihatnya lemahnya kemampuan Indonesia dengan kekurangannya di sana-sini. Mereka mengutip studi OECD (Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan) dan Bank Dunia yang menyimpulkan pelaksaan persetujuan Putaran Uruguay dalam rangka GATT akan menimbulkan situasi ekonomi dan sosial yang lebih parah di negara-negara berkembang yang relatif lemah, seperti Indonesia.
Dampak liberalisasi perdagangan dalam kawasan yang lebih sempit, yakni AFTA, terhadap negara-negara seperti Indonesia. Sejumlah studi mengungkapkan, betapa AQFTA tidak akan menimbulkan efek positif secara signifikan terhadap perdagangan dan pendapatan negara-negara pesertanya.
Sebaliknya, liberalisasi perdagangan di ASEAN akan menimbulkan serious domestic injury terhadap negara yang ekonominya lemah, seperti berupa tersingkirnya kekuatan-kekuatan ekonomi domestik dalam proses ekonomi sebagai akibat adanya persaingan dari produk-produk luar. Dampak negatif terhadap kekuatan ekonomi domestik tidak akan bisa ditutup oleh dampak positif berupa kenaikan PDB akibat AFTA yang sangat minim. Akibat AFTA, menurut studi Philippines Institute of Development Studies tahun 1996, Indonesia juga akan mengalami defisit dalam neraca perdagangan dengan negara-negara Asia lainnya dengan ekspor diperkirakan naik 14,5 %, sementara impor naik lebih tinggi, yakni 27 %.
Hasil studi yang dilakukan sejumlah universitas di Australia bisa kita ungkapkan. Studi ini lebih optimis dibandingkan studi OECD dan Bank Dunia, yang mengungkapkan Indonesia akan dirugikan sebesar 1,9 – 2,5 miliar dolar AS per tahun dengan berlakunya GATT/WTO. Menurut studi itu, Cina dan ASEAN (termasuk Indonesia) yang akan menikmati manfaat paling besar jika liberalisasi perdagangan lebih mendorong lagi di dunia. Dalam hal ini, ekspor Indonesia diperkirakan meningkat 3,7 miliar dolar AS lebih pada tahun 2005 dibandingkan dengan jika liberalisasi tidak ada. Sementara pertumbuhan ekonomi diperkirakan 0,8 % lebih tinggi.
Negara-negara atau perekonomian APEC saat ini saling bersaing untuk memperebutkan dana investasi asing yang jumlahnya sangat terbatas. Forum Bisnis Pasifik (PBF – Pacific Business Forum) dalam laporannya beberapa waktu lalu mengenai beberapa hambatan bagi investor dalam menanamkan modalnya di negara-negara tujuan mengenai hambatan-hambatan investasi. Hambatan itu bisa disebutkan, antara lain persyaratan investasi yang diterapkan pemerintah negara tujuan, larangan investasi di sektor tertentu, monopoli atau konsesi oleh swasta atau pemerintah, pendekatan kebijakan yang tidak mendukung, praktik yang mengucilkan investor baru, kurangnya komitmen terhadap national treatment, serta kurangnya informasi bagi investor.
Menghadapi masalah ini, diusulkan sederetan pinsip investasi yang sifatnya tidak mengikat (non-binding code of principles) atau disebut Kode Investasi Asia Pasifik. Siapa yang paling bisa menawarkan daya saing, dialah yang akan menang dalam perebutan dana investasi. Implikasinya, upah buruh rendah yang selama ini dianggap sebagai keunggulan komperatif Indonesia tidak mungkin dipertahankan. Alasannya, selain upah buruh tidak mungkin dipertahankan tetap rendah, Indonesia juga menghadapi pesaing-pesaing dengan karakteristik hampir sama, misalnya Cina, Vietnam, dan India di Asia, Meksiko dan beberapa negara lain di Amerika Latin, dan negara-negara Eropa Timur serta bekas Uni Soviet.
Menurut proyeksi OECD, Cina merupakan negara yang akan paling diuntungkan oleh adanya GATT/WTO. Dalam proyek investasi, banyak kalangan juga menilai Cina sebagai tempat paling menarik sebagai tujuan investasi, terutama mengingat laju pertumbuhan, skala ekonomi, potensi pasar, jumlah penduduk, dan posisi geografisnya.
Alan Caroll dari Caroll Partners Internasional, pada Pacific Rin Forum ’97 – forum dunia usaha kawasan Aia pasifik – di Beijing antara lain mengatakan, produk domestik bruto (PDB) dunia kini sebenarnya hanya dikuasai tiga lingkaran kumpulan negara (the three circles). Lingkaran pertama adalah negara-negara di Amerika Utara yang menguasai 29 % PDB dunia. Lingkaran kedua adalah Eropa Barat yang memegang 27 % PDB. Lingkaran ketiga adalah kawasan Asia Timur, yakni sekelompok negara yang berhadapan dengan Samudera Pasifik, termasuk Australia dan Selandia Baru menguasai 28 % PDB dunia. Didukung dari terminologi purchasing power parity, total PDB kawasan Asia Timur, termasuk Australia dan Selandia Baru, bahkan melampui jumlah PDB kawasan Amerika Utara dan kawasan Eropa Barat.
Konsep the three circles ini berlaku pula dalam hal perdagangan internasional. Tiga lingkaran amat dominant dalam menguasai pangsa perdagangan dan arus investasi dunia. Lebih dari itu, arus barang dan arus modal diantara sesama negara dalam satu lingkaran terus membesar dari waktu ke waktu.
Di bidang perdagangan, volume perdagangan intrakawasan Eropa kini diperkirakan mencapai dua per tiga dari seluruh volume perdagangan mereka. Volume perdagangan intrakawasan Amerika Utara sekitar 55 % dan intrakawasan Asia Timur, termasuk Australia dan Selandia Baru, naik dari 30 % pada tahun 1985 menjadi 45 % tahun 1998. Pada tahun 1998, wilayah ini menghasilkan setengah dari produk domestik bruto dunia dan 41 % dari seluruh perdagangan dunia. Besarnya pendapatan perkapita juga dua setengah kali dari rata-rata pendapatan perkapita dunia. Lebih dari 2 miliar orang atau 38,5 % dari umat manusia juga tinggal di wilayah ini, sementara luasnya wilayahnya 2 kali Eropa.
Ditinjau dari segi demografis, kawasan Asia Pasifik juga merupakan raksasa. Tiga dari 5 besar negara berpenduduk terbanyak di dunia ada di kawasan ini. Penduduk Cina hampir 1,22 miliar, AS 255 juta, dan Indonesia 210 juta jiwa, membuat kawasan ini benar-benar potensial, baik sebagai pasar maupun faktor produksi.
Perkembangan dinamis perekonomian negara-negara Timur dalam beberapa tahun terkahir kian menjanjikan betapa kawasan Asia Pasifik akan mampu menjadi pasar tanpa batas di masa depan. Gairah perusahaan-perusahaan multinasional untuk memasuki Asia Timur belakangan ini merupakan antisipasi nyata bagi seluruh upaya negara dan entitas bisnis untuk bukan hanya memenangkan pengaruh, tetapi lebih dari itu adalah keuntungan ekonomi. Dengan gambaran seperti itu, maka penggabungan 2 lingkaran negara Asia Timur dan Amerika Utara ke dalam APEC mengukuhkan kawasan Pasifik menjadi ‘kawasan masa kini’. Ia bukan hanya menguasai hampir 60% PDB dunia, tetapi juga menguasai potensi kemajuan masa datang.
Langsung atau tidak langsung, upaya ‘penyatuan’ negara-negara Pasifik ke dalam APEC sudah mampu memperlancar proses persetujuan negosiasi perdagangan multilateral Putaran Uruguay. Negara-negara Eropa yang bersikap kurang akomodatif terhadap persoalan dalam rangka negosiasi Putaran Uruguay harus tunduk pada realitas, bahwa sikap keras mereka hanya akan merugikan diri sendiri. Kenyataan, Amerika Serikat yang berada pada kutub lain atau Jepang yang sebelum ini terkesan ‘main’ sendiri sudah memiliki partner potensial untuk menandingi dominasi Eropa selama berabad-abad.
Secara struktur, kawasan Asia pasifik juga amat lengkap. Di kawasan ini bukan hanya ada negara-negara yang masuk kategori termakmur di dunia, tetapi ada pula negara-negara industri baru dan sekaligus negara berkembang. Dalam hal penyebaran pendapatan per kapita, negara paling maju diwakili Jepang, AS, dan Kanada. Pada kelompok negara industri baru ada Taiwan, Hong Kong, Singapura, Korea Selatan. Sementara di negara berkembang terdapat RRC, Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Struktur seperti ini dalam banyak hal akan sangat memberikan keuntungan. Satu sama lain negara bisa saling mengisi. Proses relokasi industri yang sudah menjadi kecenderungan selama ini pun akan tetap mudah untuk berjalan di masa datang.
Di masa lau amat terasa betapa eksploitasi ini terjadi. Negara berkembang sebagai pemasok bahan baku (bahan mentah) harus membayar secara tidak imbang produk-produk teknologi negara maju. Tekanan terus-menerus dari negara-negara maju atas harga komoditi primer negara berkembang dibarengi dengan harga jual produk teknologi yang kerap kali terkesan tanpa kendali. Aneka paket ‘bantuan’ ekonomi yang diterima negara-negara berkembang sering kali terasa hanya merupakan tabir dari upaya negara maju untuk memasarkan produksinya. Padahal untuk membayar paket ‘bantuan’ ekonomi itu, negara berkembang harus mengumpulkan sedikit demi sedikit devisa hasil ekspor ke negara maju yang harga dan kriterianya sudah sangat mereka dikte.
Selasa, Desember 22, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar